Tak Ada yang lebih tabah
dari hujan bulan juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu
tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan juni
dihapusnya jejak - jejak kakinya
yang ragu - ragu di jalan itu
tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu
1989 (Sapardi Djoko Damano)
Hari itu hujan, setelahnya gerimis lalu Kami mengunjungi suatu tempat yang terletak apik di Kota Jakarta. Saat itu tidak sebanyak dan seberat sekarang tentang apa yang kurasakan, tentang apa yang ku alami. Betapa sesungguhnya hidup adalah kemewahan. Saat itu setiap bersua Kota itu aku hanya terpusat pada satu rasa, satu rasa yang kujaga dan kemudian aku merindukan. Namun saat ini rasa itu telah terseret aliran air hujan, telah diserap tanah entah menghilang kemana. Hal lain yang membuat ku tertarik adalah karena didalam puisi " Hujan Bulan Juni" mengandung satu nama, satu nama yang telah lama tersimpan, tidak diam - diam karena tidak ada yang mampu kerahasiakan kepada Allah. Selanjutnya aku, menuliskan dibuku harianku... " Titip rindu untuk Jakarta Selatan", sekarang saat ku baca kembali, aku tau dulu sangat bermakna... namun tentu di akhir kata dalam kalimat itu.. sudah biasa saja untuk saat ini. Semua sudah berubah.
Hujan Bulan Juni..
Sekarang juga masih hujan tapi bukan lagi bulan juni
berganti menjadi bulan agustus.
Sedikit terbawa perasaan tentang kisah Pingkan dan Juga Sa, akhir dari bab lima itu membuat aku meneruskan cerita dengan imajinasiku sendiri, dalam situasi yang seperti ini tidak dituliskan karena tidak fokus, tidak pada satu titik dan juga pada satu tujuan. mampukah? bisakah? terlewatikah?.. sungguh aku..
dari hujan bulan juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu
tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan juni
dihapusnya jejak - jejak kakinya
yang ragu - ragu di jalan itu
tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu
1989 (Sapardi Djoko Damano)
Hari itu hujan, setelahnya gerimis lalu Kami mengunjungi suatu tempat yang terletak apik di Kota Jakarta. Saat itu tidak sebanyak dan seberat sekarang tentang apa yang kurasakan, tentang apa yang ku alami. Betapa sesungguhnya hidup adalah kemewahan. Saat itu setiap bersua Kota itu aku hanya terpusat pada satu rasa, satu rasa yang kujaga dan kemudian aku merindukan. Namun saat ini rasa itu telah terseret aliran air hujan, telah diserap tanah entah menghilang kemana. Hal lain yang membuat ku tertarik adalah karena didalam puisi " Hujan Bulan Juni" mengandung satu nama, satu nama yang telah lama tersimpan, tidak diam - diam karena tidak ada yang mampu kerahasiakan kepada Allah. Selanjutnya aku, menuliskan dibuku harianku... " Titip rindu untuk Jakarta Selatan", sekarang saat ku baca kembali, aku tau dulu sangat bermakna... namun tentu di akhir kata dalam kalimat itu.. sudah biasa saja untuk saat ini. Semua sudah berubah.
Hujan Bulan Juni..
Sekarang juga masih hujan tapi bukan lagi bulan juni
berganti menjadi bulan agustus.
Sedikit terbawa perasaan tentang kisah Pingkan dan Juga Sa, akhir dari bab lima itu membuat aku meneruskan cerita dengan imajinasiku sendiri, dalam situasi yang seperti ini tidak dituliskan karena tidak fokus, tidak pada satu titik dan juga pada satu tujuan. mampukah? bisakah? terlewatikah?.. sungguh aku..