18 Juni 2013
surat sbydakwatuna.com – Pak Presiden yang baik, Mari kita berbicara jujur tentang kenaikan
harga minyak, kami mungkin tidak pandai
berhitung: Bagaimana sebenarnya harga
minyak ditentukan? Bagaimana neraca
perekonomian nasional diperlakukan? Atau
pertimbangan apa yang dipakai sehingga satu-satunya pilihan untuk
‘menyelamatkan seluruh bangsa’ harus
sama dan dengan menaikkan harga-harga?
Bagi kami, angka-angka selalu terdengar
sebagai ilusi belaka, Pak. Setiap hari kami
mendengar satuan ‘miliar’ atau ‘triliun’ disebutkan dalam berita-berita,
tanpa pernah benar-benar melihatnya dalam
bentuk yang sesungguhnya—ap alagi menghitungnya satu per satu. Hidup kami sederhana, disambung lembaran-
lembar an uang recehan. Ilmu hitung kami kelas rendahan: berapa untuk makan sehari-
hari, uang jajan anak sekolah, biaya
transportasi, biaya listrik bulanan, dan
kadang-kadang cicilan motor, dispenser atau
DVD player. Tak perlu kalkulator. Bila sedang
beruntung, kami bisa punya sisa uang untuk jalan-jalan di akhir pekan. Bila sedang sulit,
kami tidak ke mana-mana, Pak: Kami mencari
kebahagiaan gratisan di televisi—meski
kadang-kadang justru dibuat pusing dengan
berita-berita tentang beberapa anak buah
Bapak yang korupsi. Tahukah Bapak, dalam televisi, juga koran-
koran dan majalah: kami seperti tak punya
presiden! Kami seperti tak punya pemimpin!
Negara ini terlanjur dikuasai para bandit, Pak! Ah, mungkinkah Bapak tak sempat menonton
TV atau membaca koran sehingga Bapak tak
mengetahuinya? Tapi, ke mana saja sih
Bapak selama ini? Mengapa hanya muncul
untuk bernyanyi, mengucapkan
belasungkawa, atau membacakan pidato- pidato bernada lemah yang berisi kabar
buruk, permohonan maaf, dan keprihatinan? Kami, rakyat biasa, sesekali butuh kabar
gembira, Pak! Kadang-kadang kami berkhayal
bahwa jangan-jangan kami sedang hidup
dalam sinetron? Mungkinkah yang berpidato
di televisi itu bukan Bapak—tapi kembaran
Bapak yang menyamar atau tertukar? Mungkinkah kepala Bapak terbentur batu
dan lantas hilang ingatan? Tetapi, tentu saja
itu bukan kabar gembira. Pak Presiden yang baik, Kelak bila harga BBM naik, dengan gagah dan
baik hati konon Bapak akan memberi kami
kompensasi: Bapak akan membuat kami
mengantre untuk mendapatkan uang
bantuan agar kami tak merasa kesulitan.
Tapi, pikiran kami sederhana saja, Pak, benarkah Bapak suka melihat kami
mengantre, panjang mengular dari Sabang
sampai Merauke? Kami tidak suka itu, Pak.
Kami tak suka terlihat miskin, apalagi menjadi
miskin. Kalau memang Bapak punya uang
untuk dibagikan kepada kami, pakailah uang itu, kami rela meminjamkannya untuk
menyelamatkan ‘perekonomian nasional’
yang konon sedang gawat itu. Tak perlu
naikkan BBM, pakailah uang kami itu: kami
rela meminjamkannya untuk menyelamatkan
bangsa! Keluarga kami yang seorang petani dengan
kerbau tak mungkin lagi bersaing dengan
mesin-mesin yang membutuhkan bensin dan
solar untuk berladang, kekuatan pangan jadi
hambatan kekuatan ekonomi Negara menjadi
terhambat akibat biaya pertanian yang mahal dan mereka pun gulung tikar beralih
menjadi budak perusahaan, makan dengan
mie instan Dan menjual lahan pertanian apa
itu yang bapak inginkan? Bila perlu, berdirilah di hadapan kami,
katakan apa yang negara perlukan dari kami
untuk menyelamatkan kegawatan bencana
ekonomi negara ini? Bila Bapak perlu uang,
kami akan menjual ayam, sapi, mesin jahit,
jam tangan, atau apa saja agar terkumpul sejumlah uang untuk melakukan
pembangunan dan penyelamatan
perekonomian bangsa. Bila Bapak disandra
mafia, pejabat-pejabat yang ** SENSOR **, atau pengusaha-pengu saha yang menghisap rakyat, tolong beritahu kami:
siapa saja mereka? Kami akan bersatu untuk
membantumu melenyapkan mereka. Tentu
saja, semoga Anda bukan salah satu bagian
dari mereka! Pak Presiden yang baik, Berapa banyak perusahaan yang ada di
negara ini pak? Apakah kami akan selalu
bapak jadikan sebagai pengemis recehan
dibalik keuntungan mereka yang meraup
keuntungan besar dari Negara ini? Apakah
bapak tidak berani menaikkan pajak bagi perusahaan-peru sahaan asing tersebut? Dengan alasan perusahaan yang menikmati
untung dari BBM yang murah kenapa tidak
tergantikan dengan pajak yang mereka
bayarkan? Apakah bapak lupa untuk melirik
mereka? Atau bapak takut dengan mereka. Dengarkanlah kami, berdirilah untuk kami,
berbicaralah atas nama kami, belalah kami:
maka kami akan selalu ada, berdiri, bahkan
berlari mengorbankan apa saja untuk
membelamu. Berhentilah berdiri dan
berbicara atas nama sejumlah pihak— membela kepentingan-kep entingan golongan. Berhentilah jadi bagian dari
mereka yang akan kami benci sampai mati.
Jangan jadi penakut, Pak Presiden, jangan
jadi pengecut! lupakan bisikan-bisikan
penjilat di sekelilingmu! Lalu dengarkanlah
suara kami, tataplah mata kami: tidak pernah ada satu pun pemimpin di atas dunia yang
sanggup bertahan dalam kekuasaannya jika
ia terus-menerus menulikan dirinya dari
suara-suara rakyatnya! Pak presiden, Kami tidak ingin jadi pengemis dengan
bantuan yang bapak berikan dari
penambahan utang Negara, yang hanya
menambah beban Negara. Bank dunia, Bank
asia yang memberikan subsidi kepada kami
dari pinjaman Negara akan menjadikan anak cucu kami semakin menderita, Pak Presiden, Sekali lagi, tentang kenaikan harga minyak,
barangkali kami memang tak pandai
berhitung. Tapi, sungguh, kami tak perlu
menghitung apapun untuk memutuskan
mencintai atau membenci sesuatu; termasuk
mencintai atau membencimu! Salam Rakyat Indonesia (mari kita kirimkan ke Presiden dan seluruh
rakyat Indonesia). (sbb/ dakwatuna.com)
" Copy dari google tapi pengen diabadiin aja "